Ambillah sebuah bejana dan pastikan tak berisi apa-apa. Biarkan bejana tersebut kosong dan maknailah. Bejana tersebut tetaplah berbentuk bejana dengan ruang yang tetap kosong di dalamnya. Hanya saja, akan ada satu hal yang akan bejana sesali andaikata ia hidup, yaitu bahwa ia tak berarti apa-apa selagi tak ada yang mengisinya. Ia tak menepati kodratnya sebagai bejana sebagaimana tujuannya dibuat. Padahal di sisi lain, bejana tersebut punya peluang untuk diisi apapun sesuai yang empunya inginkan.
Guna memenuhi kodratnya, isilah bejana tersebut dengan air bening hingga penuh. Air akan memenuhi ruang di dalamnya mengikuti bentuk bejana. Kemudian, tuanglah kembali air yang serupa di atas bejana yang telah penuh tersebut. Maka yang akan terjadi selanjutnya adalah air akan meluber keluar bejana saat ia tak lagi mampu menampung air yang tertuang pada akhirnya. Apabila air berwarna di tuang ke atas bejana, air tetap akan meluber keluar bejana seperti sebelumnya. Akan tetapi lihatlah, air yang sebelumnya bening, akan mulai menerima warna. Sekarang, bejana tetap akan penuh terisi, namun dengan air yang berwarna.
Mungkin bukan hal yang menakjubkan bagi kita melihat fenomena di atas, biasa saja. Namun, alangkah baiknya kalau kita mau mencoba menelisik makna yang tertaut darinya. Sebab andaikata kita mau menerjemahkannya dalam konsep, hal tersebut serupa dengan tabiat manusia dalam hidup. Tabiat manusia dalam hal penerimaan diri.
Apabila manusia hendak menerima sesuatu, maka ia harus menyisakan ruang dalam dirinya untuk mampu menerima. Semakin banyak yang ingin diterimanya, semakin banyak yang harus dikosongkannya. Ruang dalam diri manusia tidaklah tak terhingga, sifatnya tentu terbatas. Seperti halnya usia hidup yang juga ada batasnya. Ruang jiwa, begitu pula sifatnya. Ia bisa diisi beningnya kebaikan maupun keruhnya keburukan. Sifat ibarat air pada umumnya, baik maupun buruk ibarat warna yang terkhusus. Apabila kebaikan yang ada dalam diri manusia meluber, maka luberannya akan tampak dalam kebermanfaatannya bagi sekitar. Mengutip kata Imam Al-Ghazali tentang kebaikan berupa nasihat. Bahwa nasihat adalah seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat untuk dirinya sendiri. Apabila nisab-nya telah terpenuhi, barulah seseorang bisa mengeluarkan zakatnya, dalam hal ini adalah kebaikan berupa nasihat. Begitu halnya dengan keburukan. Apa yang ada di sekitar akan merasakan dampaknya juga. Sekiranya kebaikan bercampur dengan keburukan, jiwa bening pun akan semakin keruh dalam kadar yang sesuai realitasnya.
Ruang jiwa hanya memenuhi kodratnya sebagai ruang yang siap diisi apapun, tergantung pada si empunya-nya. Barulah tanggung jawab manusia ada pada isi yang diterimanya.
Wonosobo, 05 Mei 2020 19:43
0 Komentar