Hujan Sudah Reda, Saatnya Angkuh Kembali

Berduyun-duyun orang mencari atap untuk berteduh. Gelombang massa ribuan kuadrat tetes air, tak terbendung menggempur bumi beserta apa yang ada di atasnya. Tanah menerima, tanaman menerima, jalanan dan atap rumah-rumah menerima. Segelintir orang pun menerima. Hanya mayoritasnya enyah dalam ruang dan teduhan.
Jalanan menyepi menuju sunyi. Hawa permukaan turun beserta menurunnya ego dan nafsu yang menguap dari kepala yang panas dan pengap. Hujan datang, angkuh mereda. Aku bahkan tak melihatnya dipersimpangan jalan arah luar gerbang kota siang itu. Entah, jika kita menilik rumah-rumah berteduh yang dalamnya tak mampu diterawang. Mungkin hujan besar di luar merasuk dalam hujan kecil air mata yang lirih gema rasanya. Ada yang sedih, ada yang haru, ada yang marah dan kecewa. Tapi toh, sebagiannya mampu tidur lebih nyenyak. Nada-nada hujan memang melenakan bagi mereka yang mau menerima.
Tapi lihatlah sepasang muda-mudi di emperan toko itu. Mereka setengah basah kuyup tertempa hujan. Berlarian hingga sampai di tempat berteduh itu. Si wanita menggigil kedinginan. Si lelaki memakaikan jaket setengah basah di pundaknya. Ah... Roman apa ini? Akankah selalu begitu alurnya, ataukah hanya sandiwara belaka? Nanti kalau sudah putus, beban kenangan seperti ini juga akan menghantui pikiran mereka. Trus, saling canggung mengawali kata-kata untuk sekedar nimbrung dan basa-basi. Nah...akhirnya semua berubah kan? Sudah tak seperti sebelumnya lagi.

Dasar manusia...
Tak mampu agaknya mereka bersikap alami. Pikiran mereka penuh huru hara. Diam enggan, bergerak kecapekan. Sunyi sepi, ramai pun bising. Maju bingung, mundur linglung. Diberi hal nyata, menghindar juga menuju maya.
Ada-ada saja pribadi mereka...

Lho, mereka? Aku kan manusia juga.
Ada-ada saja pribadi kita...

Eh....., ternyata hujan sudah reda. Baiklah, saatnya angkuh kembali.

Wonosobo, 06 Mei 2020     15:10

Posting Komentar

0 Komentar