Semesta di Atas Piring


Suatu ketika, saya ikut nimbrung dalam obrolan ringan bersama saudara-saudara saya. Obrolannya ringan saja, bukan seperti diskusi-diskusi panas buah pemikiran para cendekiawan. Bukan juga para akademisi formal maupun para intelektual strata tinggi. Hanya lingkaran kecil masyarakat desa biasa, termasuk saya. Dan di sini pun saya hanya menyimak, berbicara sekedarnya cuma buat selingan belaka. Ada atensi dan rasa ingin tahu untuk mendapat ilmu dan pemahaman baru, begitu kiranya. Sebab, selama di perantauan, saya sudah terlalu lama vakum dari hal-hal semacam ini.
Bahasan yang diangkat juga ringan-ringan saja. Meski demikian, ternyata begitu penting pemahaman yang saya dapatkan dari obrolan ini. Bahasan yang keluar kali ini adalah tentang Doa Makan”. Satu hal yang biasa kita lakukan setiap harinya. Sangking biasanya, sebagian dari kita sering lupa atau bahkan terlalu menyederhanakannya. Dalam konteks yang sesuai, “sederhana” adalah hal baik. Tapi “terlalu”, selalu berjarak dengan kebaikan.
Obrolan tentang do’a makan ini diangkat kembali untuk membahas ilmu yang didapat waktu ngaji. Ngaji rutin setiap malam selasa dalam suasana kampung di wilayah pegunungan yang dingin. Biasanya paling satuan atau belasan orang saja yang ikut. Maklum, bukan sebuah forum keagamaan maupun majlis ta’lim besar.
“Mangkat ngaji yo monggo, ora yo rapopo...”
 Nggak dilarang dan nggak dimarahin juga, kerelaan saja. Ngajinya biasanya seputar Ilmu Tasawwuf, tentang bagaimana menyelami Ilmu Hakikat dan memahami makna dari ajaran-ajaran syariat yang notabene lekat dalam religiusitas kita. Harapannya, ilmu yang didapat bukan sekedar dogma-dogma kosong belaka. Namun terisi oleh penghayatan makna-makna dan termanifestasikan dalam sikap, prinsip-prinsip, dan falsafah hidup.
Bagi yang mungkin lupa dengan do’a makan, begini lafalnya:
  أَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Pelafalan Latin:
Allaahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaabannaari.
Artinya :
Ya Allah, semoga Engkau berkenan memberikan berkah (kemanfaatan) kepada kami atas apa yang telah Engkau anugerahkan (rizki) kepada kami, dan semoga Engkau berkenan menjaga kami dari siksa api neraka yang menyakitkan.
Salah seorang dari kami mengulang apa yang didapatnya dari ngaji, tentang:
“Kenapa baarik lanaa? Bukan baarikli? Kenapa kepada kami si, bukan kepada saya? Padahal yang makan dan mengucap do’a kan sendiri-sendiri...
Disinilah satu ilmu besar saya dapatkan. Setidaknya, makna yang akhirnya saya pahami meluruhkan sebagian egoisme saya. Pemahaman yang lantas didapatkan adalah bahwa dalam sepiring hidangan yang saya makan, ada andil dari banyak pihak. Banyak orang bergotong royong untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan saya akan makanan.
Saya mestinya ingat, siapa yang memasakkan makanan hingga memenuhi selera makan saya. Saya juga mestinya ingat, siapa yang menjual sayur dan lauk hingga bahan makanan itu bisa sampai ke dapur saya. Saya pun harusnya paham, ada petani yang mengolah sawah, menanam padi, menunggu seratus hari lebih untuk mendapatkan beras yang lantas tersaji sebagai nasi untuk saya makan. Kesemua dari mereka mencari rezeki yang diturunkan dari “Ar-Rozak” ,Sang Maha Pemberi Rezeki. Maka harapan yang kita sisipkan dalam do’a kita adalah semoga rezeki yang saya dan semua orang yang ikut andil dalam sepiring makanan tersebut diberi keberkahan oleh-Nya. Sebab rezeki yang tidak diberi keberkahan adalah kesia-sia’an belaka. Maka selain Hablumminallah, ada Hablumminannaas dalam do’a makan kita. Setidaknya begitulah yang agama ajarkan kepada kita tentang kepedulian kepada sesama.
Bahasan yang kedua adalah:
“Kok ngeri banget, urusan perut aja sampai adzab neraka? Apa nggak berlebihan?”
Ya, perut memang bisa jadi penanda laku baik maupun laku buruk. Penanda laku baik didapat pada orang-orang yang gemar berpuasa. Puasa menjadi salah satu bentuk tirakat, atau yang kita kenal sebagai Riyadhoh dalam bahasa Arab. Tirakat yang berarti membatasi keinginan lahiriah/jasmani untuk menguatkan batiniah/ruhani. Maka, orang yang gemar berpuasa dan mampu memaknainya akan lebih peka merasakan kegelisahan orang lain, juga mampu lebih fokus dalam beribadah. Bentuk tirakat lain bisa berupa sholat malam, rutin tadarus, bersedekah, atau perbuatan yang melibatkan unsur ruhani lain. Tapi kita tidak akan membahasnya lebih dalam kali ini.
Hal lain terkait perut, kita bisa ingat suatu nasihat tentang bagaimana kita harus makan ketika perut merasa lapar. Bagaimana lapar menandakan bahwa tubuh kita meminta haknya untuk dapat dipenuhi. Lantas, kita diharuskan berhenti makan bahkan sebelum perut merasa kenyang. Sebab kenyang menjadi pertanda bahwa kita telah berlebihan, merujuk pada sifat rakus, sebuah penanda laku buruk seseorang. Laku buruk lain kita temui pada orang yang suka membanding-bandingkan makanan. Bahwa ini makanan mewah dan itu makanan murahan. Ketamakan juga lah yang terlihat dari hal demikian.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa:
“Jika dibandingkan, barangkali orang yang mati karena kekenyangan akan lebih banyak jumlahnya dibandingkan orang yang mati karena kelaparan. Dan biasanya, orang yang mati kekenyangan lebih mahal.”
Ungkapan tersebut mungkin digunakan untuk menyinggung orang yang berlebih-lebihan dalam mengonsumsi sesuatu. Berlebihan dalam mengonsumsi gula, makanan berlemak, makanan pedas, dan lain-lain menimbulkan penyakit seperti diabetes, kolesterol, darah tinggi, maupun obesitas yang harus mengeluarkan biaya mahal dalam penanganannya.
Do’a makan yang singkat dan terasa sederhana pun ternyata memiliki kedalaman makna yang begitu pentingnya. Sebentuk hubungan kemesraan antara manusia dengan Tuhannya maupun antara manusia dengan manusia lain yang rela untuk saling mendo’akan demi kebaikan bersama. Berharap kebaikan untuk sesama atas gotong royong yang telah tertempuh demi memenuhi kebutuhan kita semua. Bahkan, pelajaran besar pun dapat diambil darinya. Ilmu tentang pembatasan terhadap sesuatu agar tak berlebih-lebihan, berikut konsekuensi yang layak ditanggung apabila menyimpang. Dari sini saja memunculkan kesadaran pada diri kita, bahwa masih banyak hal yang mungkin sering kita lakukan tanpa kita tahu apa makna besar yang terkandung di dalamnya. Maka, kita patut untuk tetap merasa bodoh.
Sampai di sini, saya jadi teringat kata seorang filsuf:
“I only know that I know nothing” - (Socrates)

Bogor, 06 Februari 2020   23:58

Posting Komentar

0 Komentar