“Silahkan saja, tapi Saya Enggan Berdebat”


Aku bukannya tak mau ikut campur ataupun berkomentar tentang apapun yang dirasa tidak baik-baik saja. Berita-berita membicarakan banyak hal. Mulai dari politik yang keruh, pemimpin yang dipertanyakan tanggung jawabnya, bencana yang terjadi di mana-mana dipadupadankan dengan banyak kalangan yang seolah tak mampu bertindak, maupun kebijakan-kebijakan yang secara logika maupun nurani tak masuk akal. Orang-orang berbondong-bondong mengutarakan argumen-argumennya. Ada yang menunjukkan kehebatan dari suatu koloni, ada juga yang mengecam ketidakbecusan kalangan seberang. Terlepas dari seberapa subyektif atau obyektifkah tanggapan mereka atas hal-hal demikian, media sosial sepertinya ruang yang pas untuk riuh rendah mereka. Setidaknya, dalam dunia maya mereka hanya perlu baku hantam lewat tulisan, adu fisik tak banyak diperlukan oleh kebanyakan dari mereka. Pun, mereka tidak harus selalu bertanggungjawab atas apa yang mereka perdebatkan. Apabila mereka benar, mereka merasa bangga. Terlebih adanya dukungan like dan komentar seperti menjadikannya raja, meski hanya di dunia maya. Apabila argumen mereka salah, anggap saja itu hal biasa. Tak ada yang selamanya benar di dunia ini, dan mereka tak perlu bertanggungjawab atas apa yang mereka sebarkan. Barangkali itu yang dipikirkan oleh mereka, aktivis medsos akhir-akhir ini.
Saya bukannya tak ingin melakukan hal yang sama. Sungguh, saya sangat dan sangat ingin melakukannya. Manusia mana yang tak ingin nimbrung atas ketimpangan, sementara mereka memiliki alasan bahwa pikiran mereka jauh lebih baik dari segala perdebatan? Sebagai manusia normal, dengan hasrat dan nafsu yang tinggi, serta didukung ruang berpendapat yang sebebas-bebasnya, saya juga ingin melakukannya. Masa bodoh dengan benar salah pada akhirnya nanti, toh takkan ada yang mengadili, kecuali orang-orang julid tentunya. Begitu terkadang yang saya pikirkan.
Akan tetapi saya sadar diri. Saya bukan orang pintar yang tau segala bidang. Komentar saya bisa sangat salah tanpa pernah saya sadari. Apalagi terkadang ego dan kebodohan menutupi kebenaran dari banyak sudut pandang. Saya jadi teringat masa lalu. Fase dimana saya menjadi begitu alay dan melangitkan hal-hal sepele yang seharusnya tetap membumi. Status di media sosial salah satu contohnya. Ketika berada dalam fase itu, apa yang saya ketik dan bagikan sebagai status di media sosial bukan suatu kesalahan. Wajar-wajar saja. Bahkan, saya anggap itu status yang paling benar dengan gaya bahasa yang paling baik seantero negeri. Sedikitpun tak ada kesalahan di dalamnya. Lalu, bandingkan dengan saya yang saat ini membuka status-status lama dalam fase alay saya. Kadang saya menjadi jijik dan mual membacanya. Rasa-rasanya malu juga saya pernah berpikir untuk membuat status seperti itu. Tidak saya hapus memang, sebab sepait dan seburuk apapun kita di masa lalu, adalah hal baik dalam kenangan, begitu saya pikir.
Setelah melewati sejumlah pengalaman dan berbagai lika-liku kehidupan, tentu pelajaran dan pengetahuan baru yang saya dapatkan. Entah itu secara alami maupun dari berbagai macam proses berfikir tentu saja. Akhir-akhir ini (mungkin seterusnya), saya jadi ragu pada kebenaran yang saya yakini saat ini. Jangan-jangan, pada akhirnya nanti saya akan menemukan kebenaran yang sejati? Lantas seperti yang sudah-sudah, yang saya anggap benar hari ini adalah kesalahan besar di masa yang akan datang. Akankah seperti itu?
Landasan itulah yang setidaknya membuat saya enggan menanggapi segala keresahan saya atas banyak perdebatan hari ini. Biarpun saya tidak nimbrung dalam setiap perdebatan, toh masih banyak orang yang akan menggantikan saya untuk berdebat. Sepertinya, sampai kapanpun posisi itu tidak akan kosong. Saya memilih uzlah, menepi dan mengasingkan diri, tak mau ikut campur mengikuti arus. Biar saja kalau saya dibilang apatis dan tidak tanggap. Sebabnya, saya sangat menghargai diri sendiri. Hal yang ingin saya pandang pertama kali dari orang lain adalah sisi baiknya. Sementara dalam perdebatan, saya lebih banyak digiring untuk memandang sisi buruk suatu hal terlebih dahulu. Bagi saya, ini bukanlah hal baik bagi perkembangan mental dan akal pikiran saya. Seperti kata orang bijak, bukankah satu musuh lebih banyak dari seribu teman? Saya pun teringat akan kata-kata bermakna filosofis dalam bahasa daerah saya, bunyinya begini:
“Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli.”
Artinya kurang lebih: Selaras dengan aliran air, mengalir tetapi tidak hanyut.
Kata-kata bijak yang bahkan masih sangat relevan dengan kondisi hari ini. Tentang prinsip dan landasan hidup dan kehidupan yang seharusnya dijaga oleh masing-masing dari kita.
Dahulu kita kenal bahwa lidah bisa lebih tajam dari pedang. Dan itu memang benar saya rasa. Namun ada satu lagi ungkapan yang diajarkan dalam agama saya, bahkan dibawakan oleh penyanyi terkenal Indonesia, Chrisye dalam salah satu judul lagu yang dibawakannya: “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”. Ungkapan itu menggambarkan apa yang akan terjadi di hari pembalasan, setelah kiamat terjadi. Dimana setiap orang akan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Ketika nanti mulut dikunci, kata tak ada lagi, tangan dan kaki berkata atas segala yang dilakukannya. Akan tetapi, belum juga kiamat datang, hal-hal demikian sudah terjadi hari ini. Ketika dulu propaganda dan kabar bohong datang dari mulut ke mulut, saat ini huruf dan angka merambah dunia maya lewat perantara tangan-tangan manusia. Tangan-tangan kita sudah sangat canggih untuk berbicara dalam bahasa dan caranya sendiri. Kemajuan teknologi sangat mendukung hal tersebut. Mungkin hal-hal lain yang belum terjadi dan masih jadi prediksi, akan segera datang dan terjadi. Mungkin saja, namanya juga manusia...
Selain yang ada di atas, ada hal lain yang masih saya tekankan dari diri saya saat ini. Bahwa saya sendiri belum selesai dengan sifat-sifat buruk saya. Seandainya saya sibuk dengan keburukan-keburukan yang ada di luar diri saya, tentu waktu dan tenaga saya akan habis olehnya. Maka, saya lebih baik mencurahkan hal itu untuk memperbaiki apa yang belum baik dari diri saya sendiri. Hal yang saya rasakan begitu besar tingkat kesulitannya. Sebuah anomali memang, ketika manusia membawa kesadaran bahwa musuh terbesar dan teman sejati justru berada dalam satu tubuh, ”Diri sendiri”.
Setuju maupun tidak dengan tulisan ini, bukan suatu masalah bagi saya. Dan kita tidak akan saling membenci atas hal itu. Toh, orang-orang bebas untuk mengalir dan tak hanyut oleh karenanya. Apalagi, tulisan ini dibuat terlebih untuk meyakinkan diri saya sendiri. Kalaupun setuju, ya jangan setuju-setuju amat. Saya saja meragukannya, jangan-jangan fase alay saya masih berlanjut hingga tulisan ini berakhir. Kalaupun tidak setuju yaa... Silahkan saja, tapi Saya Enggan Berdebat.

Wonosobo, 05 Januari 2020   16:45

Posting Komentar

0 Komentar