Pantun? Apaan tuh??
Barangkali itu yang dulu ada di benakku dan anak-anak sekolahan waktu awal-awal kenal Bahasa dan Sastra Indonesia. Waktu itu kami masih sekolah dasar (eS De). Entah, kelas berapa yaa??? Yang jelas, dulu masih belajar pake kapur tulis bebas debu merk "Sarjana" ditemani penghapus kayu beralas kain tebal. Kapur yang menyayat-nyayat hati si papan tulis hitam dari triplek tebal. Ada warna putih, biru, merah, kuning, de el el, de el el. Ada kalanya, suara kapur tersebut terdengar merdu dengan nada-nada hikmah, dan ada kalanya bak merobek gendang telinga dengat suara "Ciiiiiiiiittt...."nya. Derita yang tinggal derita, bikin kuping kami jadi bebal karenanya. Nulisnya juga masih pake pensil 2B di buku tulis biasa atau buku halus yang banyak garisnya.
Nah lho, kenapa malah nostalgia?? Bukannya ngomongin pantun,, hehehe. Cerita itu, biar menjadi memori tersendiri bagiku dan bagi anak-anak di jamannya.
Balik lagi ke pantun dan cerita tempo dulu...
Bu Guru mengajari pantun pada kami, membacakannya, lantas menyuruh kami menulis di buku kami. Usai itu, kami disuruh berbalas pantun di kelas. Ada pantun ejekan, pantun jenaka, pantun teka-teki, dan beragam pantun lain yang saling ditimpalkan kawan-kawan. Dulu mah seru banget... kalo mau baca berdiri dulu, angkat buku tinggi tinggi, ketawa sebentar (kadang lama, sampai bingung mau berhenti tertawa), lalu baca deh. Sambil melirik membidik target yang akan disasar. Kelas menjadi riuh, karenanya. Ada riuh tawa, ada banyolan, ada kata "Ciee...ciieee...", ada yang mangap susah mingkem, ada yang curi-curi pandang. Pokoknya, ada-ada saja deh kelakuannya.
Keseruan itu, yang sekarang jarang terlihat... (Barangkali karena udah nggak sekolah yaa...)
Usai main balas pantun, Ibu Guru biasanya bakal ngasih kata-kata mutiaranya tuh.
Tentang makna pantun, tentang tujuan pantun, tentang pesan yang terkandung dalam pantun, tentang isi dan lampiran dalam sebuah pantun, tentang banyak hal deh...
Lantas, kita jadi tau deh, pantun itu apa.
Pantun, di sebagian wilayah juga telah membudaya kan? Di ranah Melayu, Minangkabau, Betawi, dan lain tempat, pantun menjadi bagian penting kebudayaan. Seni berpantun banyak juga dijadikan media menyampaikan petuah baik tho... Dengan cara menyenangkan tentunya.
Hanya saja, akhir-akhir ini aku jarang mendengar pantun dengan kesan positif layaknya dulu. Esensi pantun mulai bergeser. Di kalangan muda, pantun tak sepopuler jaman "kapur tulis bebas debu" dulu. Budaya ini semakin luntur dengan semakin homogennya masyarakat era kini.
Pantun, sebagai bagian dari sastra mulai redup. Dunia tulis menulis, banyak terganti dengan dunia ketik-mengetik. (Seperti ketika saya mengetik artikel ini).
Era nyata, semakin terganti era maya.
Hanya saja, optimis harus terus dijaga, untuk hari depan, di hari-hari anak cucu kita.
Semoga sastra tetap mendunia.
Semoga setiap orang tetap menikmati sastra sebagai bagian yang menyenangkan.
Semoga sastra tetap menghantarkan pesan baik dengan jiwa sebagai sasarannya.
Semoga orang tidak lupa bersenang-senang melalui sastra apapun juga.
Semoga sastra tetap ada, dinikmati, dan diambil hikmahnya.
Semoga.
"Yuk, berpantun lagi..."
Garut, 3 Juni 2016 9.05

0 Komentar