Sebagai bagian dari masyarakat, saya beruntung dilahirkan dalam lingkup masyarakat Jawa. Perasaan beruntung ini adalah bagian dari rasa syukur saya atas lingkungan yang begitu hangat dan bersahabat. Entah, orang tua dan nenek moyang kita tahu ataukah tidak tentang arti
“bersahabat”. Hanya saja, adab, norma, serta tradisi yang dulu dibangun dan sampai saat ini masih terjadi dalam tataran masyarakat menunjukkan sikap bersahabat itu.
Lebaran tahun ini, saya bersuka cita karena masih dapat merasakannya di kota kelahiran, Wonosobo, Jawa Tengah. Suasana lebaran begitu terasa nyaman dalam ramai dan ramah-tamahnya. Betapa tidak? Hampir setiap rumah meyajikan makanan dan jajanan spesial yang tidak selalu ada di hari-hari biasa. Rumah menjadi begitu mewah dari biasanya. Bukan sekedar untuk siempunya rumah, lebih bagi orang-orang dekat yang nantinya akan saling mengunjungi. Suguhan tersebut mungkin adalah bentuk rasa hormat dan saling menghargai, juga bagian dari rasa syukur setelah usai bulan puasa kemarin lalu.
Banyak keluarga (Bapak, Ibu, serta Anak), akan mondar-mandir dari rumah ke rumah untuk saling mengunjungi tetangganya, terlebih mengunjungi tetangga maupun saudara yang telah lanjut usia. Tak ayal, suatu keluarga akan berjumpa dengan tetangga yang sama di rumah yang berbeda. Keakraban begitu terasa di momen seperti ini. Pada setiap kunjungan ke rumah orang yang lebih tua, tentu yang diharapkan adalah pemberian maaf. Namun tidak hanya sampai disitu, biasanya nasihat dan do’a akan mengiringi setiap maaf yang terucap dari para orang tua. Di sinilah, silaturrahim benar-benar menunjukkan lebih banyak lagi sisi baiknya.
Kedekatan itu tidak hanya pada yang masih hidup. Orang-orang yang telah ditinggal Bapak dan Ibunya tak jarang menyempatkan diri berziarah ke makam beliau berdua.
“Bersih” atau membersihkan makam menjadi tradisi yang telah lama ada di masyarakat Jawa. Biasanya,
bersih akan dibarengi dengan mengirimkan do’a bagi mereka yang telah tiada. Tradisi ini menunjukkan penghormatan si anak yang tak lekang oleh waktu, bahkan ketika waktu bagi orang tuanya telah habis di dunia. Dalam hal ini, biasanya akan teringat lagi masa-masa silam ketika mereka masih hidup. Dari sinilah, pelajaran dan nasehat yang telah lalu akan teringat kembali. Betapa pengorbanan keduanya tak terbalas oleh si anak sampai pun pada akhir hayatnya.
Masyarakat Jawa mengenal
“Kupat” atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Ketupat. Konon,
kupat adalah bagian dari ajaran Walisongo ketika melakukan penyebaran Agama Islam di bumi Nusantara. Kupat diartikan
ngaku lepat atau laku papat. Ngaku lepat berarti mengaku bersalah. Hingga jadilah momen Idul Fitri sebagai momen saling meminta maaf dan saling memaafkan.
Laku papat berarti laku empat/empat perbuatan yang dilakukan di hari raya Idul Fitri. Empat perbuatan itu adalah
Lebaran(seusai/menyudahi),
Leburan(melebur/meluluh),
Luberan(meluber/membludak),
Laburan(memutihkan). Kupat sendiri terdiri dari bungkus janur yang teranyam rumit dan nasi yang dibungkus olehnya. Konon berarti, bungkus yang rumit itu adalah penggambaran sifat buruk atau kesalahan manusia. Bungkus yang apabila dibuka akan menampakkan nasi putih yang menggambarkan putihnya hati maupun sifat baik manusia.
Sungguh, masyarakat Jawa begitu kaya akan filosofi hidup yang mengajarkan mereka akan pentingnya menjaga jiwa dan kehidupannya. Menjaga diri mereka agar tetap menerapkan
hablumminallah dan
hablumminannaas dalam dirinya.
“Semoga kita dipertemukan dengan Bulan Romadhon dan Idul Fitri di kemudian hari.”
(Minal Aidin wal Faidzin, mohon maaf atas segala salah & khilaf baik disengaja maupun tidak)
Garut, 16 Juli 2016 15:48
0 Komentar