"Jodoh itu menjadi, bukan bertemu..."
Dua manusia yang bertemu, entah dengan cara apapun, dalam waktu kapanpun, dan dengan karakter apapun dari masing-masing mereka. Lantas dua manusia tersebut memutuskan untuk menyambung tali dan mengikatnya dengan erat. Keduanya berjanji untuk saling menjadi, mereka menamakannya "Jodoh".
Beberapa atau bahkan banyak manusia membatasi usahanya dengan istilah "takdir". Bahwa hal ini datang karena ditakdirkan untuknya dan hal itu lepas karena memang bukan takdirnya. Barangkali itu benar, namun sebagai manusia, pengertian tersebut menurut saya tidak seharusnya diletakkan di depan, taruhlah di belakang setelah semua usaha, do'a, dan evaluasi atas apa yang terjadi (termasuk pada diri sendiri) sudah ditempuh. Meletakkannya di depan terkadang hanya akan membawa keputusasaan dan perasaan kesia-sia'an. Potensi maksimal yang seharusnya dimunculkan, ditepis oleh pikirannya sendiri. Termasuk dalam hal ini, JODOH.
Agama yang saya anut memberikan gambaran atau setidaknya "penafsiran" saya bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia, kecuali manusia itu berusaha mengubah nasibnya sendiri. Saya menitikberatkan bahwa "mengubah" adalah hak Tuhan, dan "berusaha" adalah kewajiban atau bahasa lebih ringannya adalah jalan hidup yang harus manusia tempuh. Hanya saja, manusia dengan sedikit upaya atau yang ingin menempuh jalan pintas seringkali berdo'a sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya sambil menihilkan usaha dan berharap by pass langsung pada takdir yang diwakili kata mengubah sebagai hak Tuhan atas apapun. Sayangnya, ini terjadi di banyak aspek kehidupan, bukan sekedar tentang jodoh atau yang semacamnya.
Saya melihatnya dalam berbagai fenomena yang terjadi di depan saya atau pada diri saya sendiri di masa lalu. Melihat bagaimana mudahnya orang berputus asa dengan mengatakan "kita ini bukan siapa-siapa" ; "mau bagaimana lagi, keadaannya seperti ini" ; "yaa mudah-mudahan nanti ada jalan". Sayangnya, itu diucapkan dalam nada keputusasaan di depan, ketika memandang nasib mereka dalam kemustahilan, bukan di belakang semua usaha yang telah dijalankannya.
Orang-orang mengatakan ia ingin menjadi ini dan itu, memiliki ini dan itu, berjodoh dengan orang yang memiliki kriteria ini dan itu. Akan tetapi, sebagian dari mereka lupa, sejauh mana wadah kepantasan atas harapan-harapan itu mereka siapkan. Menyiapkan wadah itu tentu butuh usaha, tidak datang dengan cuma-cuma.
Cita-cita besar butuh upaya besar, terkadang ditambah juga dengan pengorbanan yang besar. Semakin besar ketika cita-cita itu ikut membesar. Tidak semua berhasil, memang. Terkadang, manusia juga dihadapkan pada keputusasaan. Namun, masih lebih baik keputusasaan itu ditemui setelah semua usaha daripada berputus asa dari awal, bukan? Besarnya nilai manusia ditentukan dari usahanya.
Saya jadi ingat ketika dulu dalam situasi yang tak menyenangkan berada di bawah, ada nasihat yang melekat:
"Tawakkal dilakukan sebelum menjalankan semua ikhtiar, karena tawakkal pun adalah bagian dari ikhtiar itu sendiri."
Saya mengamini nasihat tersebut. Apabila saya menafsirkan tawakkal sebagai pasrah kepada-Nya, maka memang seharusnya bukan sekedar hasil yang kita pasrahkan, tapi juga segala usaha yang kita amalkan, termasuk juga Niat kita dalam melakukan sesuatu. Konsep ini lebih saya pilih untuk menghindari kesombongan atas apapun yang saya lakukan atau apapun yang saya dapatkan. Menjalankan konsep ini , bagi saya berarti meyakini bahwa Tuhan mengintervensi segalanya, niat saya, usaha saya, hasil yang saya dapatkan, tanpa terkecuali. Saya tidak berjalan sendirian, Tuhan mendampingi saya dalam satu siklus utuh niat-usaha-hasil. Tawakkal-Ikhtiar tak perlu dipisahkan, itu adalah satu-kesatuan.
Begitulah manusia, hanya karena salah menafsirkan sesuatu, manusia bisa salah dalam menjalani sebagian besar hidupnya. Makanya, evaluasi diri dan pikiran perlu dilakukan secara berkala. Barangkali ini yang dinamakan kalibrasi.
Subang, 03 Oktober 2025 16:09


0 Komentar