Masjid Istiqlal, Pemicu Harapan Algoritma Baru

     Minggu, 05 Desember kemarin saya meluangkan waktu libur saya untuk pergi ke Masjid Istiqlal di Jakarta. Sebenarnya sudah lama saya ingin ke sini, merencanakannya dalam beberapa liburan. Akan tetapi, karena beberapa sebab dinamisnya hidup, baru minggu kemarin keinginan ini dapat terlaksana. Dan memang kebetulan, saya yang biasanya hanya libur di hari Sabtu, kali ini bisa mengambil libur untuk dua hari di akhir pekan.

    Perjalanan dimulai Jum'at sore dari Subang, jam setengah lima. Sampai di Bogor malam hari, sebab jalanan agak macet. Maklum, keberangkatan saya menggunakan motor bersamaan dengan jam pulang kerja orang-orang. Jalanan menjadi padat di beberapa titik. Selama di sini, saya menginap di rumah kawan karib. Dua hari tiga malam, sampai hari Senin subuh saya kembali ke Subang.

    Tidak ada cerita berarti di hari Sabtu, saya hanya bermalas-malasan. Hari itu hanya ingin sekedar melepas penat dan rasa capek dengan menggeliat malas di kasur. Kasur terasa lebih empuk dari hari biasa rasanya. Bagi saya, yang penting ada suasana lain yang berbeda dari keseharian. Karena tidak ada cerita menarik selain rebahan, mari melompat ke hari Minggu saja.

    Minggu pagi, saya berwacana untuk olahraga jogging di gymnasium kampus saya dulu, IPB. Namun pagi itu sempat hujan, saya mengurungkan niat. Siang hari, mengendarai sepeda motor menuju Dramaga, masuk kampus dan sholat dzuhur di Masjid Al-Hurriyyah. Masjid besar yang kini berwarna biru putih setelah dilakukan pengecatan ulang. Sebelumnya, masjid ini berwarna cokelat yang saya pikir warnanya jauh lebih serasi. Tapi tak mengapalah, toh fungsinya tidak berubah, tetap tempat ibadah. Namun, waktu itu ruangan utama sholat di lantai dua ditutup. Entah karena sebab apa, saya tidak tahu. Jadi, sholat berjamaah dilakukan di lantai dasar, di bagian tengah masjid dekat tempat wudhu laki-laki. 


    Usai sholat, saya melanjutkan ke Stasiun Bogor. Saya menuju ke tempat penitipan motor, menitipkannya, dan berjalan kaki masuk ke stasiun. Waktu itu stasiun memang cukup ramai, walaupun tidak seramai hari-hari biasa. Mungkin karena akhir minggu orang-orang lebih memilih rebahan atau pergi ke tempat-tempat wisata dengan moda transportasi lain. Situasi di dalam KRL sama, terbilang longgar, apalagi KRL tujuan Jakarta yang notabene kota tempat orang-orang menghabiskan hari-harinya dalam bekerja. Tentu akhir pekan akan leluasa pergi ke sana. FYI, pembayaran KRL cashless yaa, pakai uang elektronik. Kalo yang tidak punya uang elektronik, bisa ke loket untuk membelinya. Untungnya, saya pake BRIZZI (bukan promo), saldonya pun masih ada, jadi tinggal masuk deh. 

    Okee, kembali ke cerita. Ketika KRL berhenti di Stasiun Juanda, saya turun. Kemudian, keluar dari stasiun dan menyeberangi jembatan penyeberangan untuk sampai di sisi lain jalan tempat dimana masjid ini berada. Saya sempat bingung, mana pintu yang seharusnya dilewati. Sekalian saja berjalan sambil tanya-tanya sembari menikmati suasana trotoar yang ramai oleh kaki lima yang berderet di depan pagar masjid. Sampai di depan gerbang masjid yang menghadap Gereja Katedral, saya kembali ke tempat awal dimana pintu tujuh berada, adzan ashar mulai berkumandang waktu itu. Sempat bertanya tadi, katanya yang bisa dilewati adalah pintu tujuh untuk masuk ke halaman masjid. Sebuah gerbang besar yang hanya sedikit dibuka. Mungkin untuk pembatasan sosial, sekalian pengecekan sertifikat vaksin pengunjung / jamaah yang masuk ke area masjid. 
 
 

    Halaman masjid terbilang sangat luas. Tampak beberapa orang di beberapa titik di halaman masjid yang memiliki ornamen cukup menarik. Ada yang hanya berkunjung, ada juga yang memang ingin melaksanakan sholat di masjid. Saya berjalan menuju pintu masuk masjid bagian dalam sesegera mungkin karena sebentar lagi iqomah dikumandangkan. Sebelum masuk, saya diminta menitipkan sandal di bagian penitipan. Kemudian masuk, melewati walkthrough metal detectors, kamera pengukur suhu, lantas menuju tempat wudhu. Ruang utama sholat ada di lantai dua. Jadi, setelah wudhu saya  bergegas menuju kesana. Agak telat memang, tapi masih bisa menyusul menjadi makmum masbuk. Lihatlah, ruang dalam masjid tak kalah menawan. Arsiteknya sangat hebat dengan ornamen di bagian dalam kubah yang begitu indah. Lampu-lampu LED menyilang teratur menerangi bagian dalam masjid yang begitu besar ini, katanya saat ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Saya menduga, dalam kondisi normal, euforia bulan puasa di Masjid Istiqlal pasti akan terasa sangat menyenangkan. Jadi ingat, sekitar empat bulan lagi Bulan Ramadhan datang. Hmm... waktu berlalu begitu cepat yaa.

 

     Sehabis ashar, saya keluar halaman masjid melalui pintu tenggara. Duduk sebentar sambil ngemil roti yang tadi sempat dibeli di Indomaret Dramaga. Kemudian, menuju Monas (Monumen Nasional) yang jaraknya kurang lebih hanya 600 meter. Menyeberang lewat jembatan penyeberangan, melewati depan Stasiun Gambir, berjalan menuju gerbang utama Monas. Saya baru tahu, bahwa Monas sudah lama ditutup dan belum dibuka untuk umum sekira dua tahunan. Sejenak duduk di pelataran depan gerbang dan lanjut berjalan. Saya berjalan menuju lampu lalu lintas pejalan kaki, menyeberang bersama beberapa ibu-ibu dan anaknya. Ketika itu, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul lima lebih ketika saya melewati trotoar depan Kantor Kementerian Dalam Negeri. Mengingat sebentar lagi maghrib, tujuan saya adalah pintu tujuh untuk masuk kembali ke Masjid Istiqlal.
 

    Suasana Maghrib lebih ramai dibanding ashar tadi. Orang-orang yang hendak ikut sholat maghrib berjamaah semakin banyak. Adzan berkumandang, seperti sebelumnya saya wudhu dan menuju ruang utama sholat. Alhamdulillah, kali ini tidak telat dan masih bisa ikut sholat dari rakaat pertama. 


 
    Usai sholat, saya keluar menuju halaman masjid. Waktu itu agak gerimis ketika saya dalam perjalanan menuju Stasiun Juanda untuk kembali ke Bogor. Sampai di Stasiun Juanda dan masuk KRL, di dalam agak lengang. Kira-kira dua jam perjalanan hingga KRL tiba di Stasiun Bogor. Sampai di stasiun, menuju tempat penitipan untuk mengambil motor saya, kemudian melanjutkan perjalanan. Malam itu saya merasa lapar, mampirlah ke warung bakso di daerah Indraprasta dan memesan bakso rudal dengan teh manis hangat sebagai minumannya. Selesai makan istirahat sejenak, lalu kembali. Senin, 06 Desember setelah sholat subuh saya pamit dan melanjutkan perjalanan kembali ke Subang.

    Satu hal saya harapkan dari perjalanan liburan saya kali ini. Saya sangat ingin, meskipun dengan godaan yang tak kecil dan tak mudah, bahwa Masjid, Sholat tepat waktu, ibadah berjamaah, dan segala macam euforianya menjadi Algoritma baru bagi saya, yang sangat mudah saya temui dalam keseharian. Seperti dulu, ketika ruang ibadah dan segala aktivitas di dalamnya menjadi begitu menyenangkan. Saya harap, hari-hari depan menjadi sangat menyenangkan dalam hal ini.

Sekian jurnal saya kali ini, dan terima kasih

Subang, 10 Desember 2021   19:29

Posting Komentar

0 Komentar