Keinginan jadi Hal yang Paradoks

            Hal dasar yang akan kita angkat disini adalah mengenai keinginan. Konsep dasarnya bagi manusia, keinginan selalu di atas kebutuhan. Manusia tidak selalu puas dengan tercapainya kebutuhan-kebutuhan atau hal-hal dasar yang terpenuhi. Keinginan menjadi sesuatu yang dibangun untuk melebihinya.

Keinginan membawa embel-embel kepuasan, rasa bahagia, ataupun kesenangan seandainya suatu hal yang diinginkan terpenuhi. Namun sekiranya kita menelaah dengan seksama, keinginan itu membawa paradoks-nya sendiri. Konteks yang diambil adalah seperti ini, orang-orang yang memutuskan untuk menginginkan sesuatu akan memunculkan perasaan gelisah dan tidak tenang, karena kesadarannya bahwa ada yang kurang atau belum ia dapatkan. Apabila di penghujung, keinginannya tidak tercapai, ia akan kecewa. Maka dalam hal ini, keinginan menjadi faktor pendorong kegelisahan dan faktor pemicu kekecewaan. Jika kondisinya berbeda, misalkan seseorang yang menginginkan sesuatu mendapatkan apa yang diinginkannya, tentu hasil akhirnya pun akan berbeda. Orang tersebut akan merasa bahagia saat keinginannya tercapai. Namun, cepat atau lambat, karena waktu itu relatif, keinginan tersebut akan meningkat kadarnya atau berubah menjadi keinginan lain hingga keinginan pertama lebur dalam waktu. Maka dalam hal ini, keinginan tak punya batasan tertentu dan dalam suatu kondisi, dapat menjadi faktor pendorong ketidakpuasan.

Contoh yang dapat kita ambil misalnya, ada seseorang yang telah memiliki rumah dan pekerjaan mapan, merasa harus memiliki mobil untuk dapat ia pergunakan pergi dan pulang dari bekerja. Mulailah muncul rasa gelisah dalam kadar tertentu karena keinginannya memiliki mobil belum terpenuhi. Dalam dua kondisi, keinginannya akan memicu perasaan lain. Kondisi pertama, ia akan kecewa jika ternyata setelah dihitung-hitung, gaji bulanannya tidak cukup untuk membeli mobil yang ia inginkan. Kondisi kedua, ternyata ia dapat membeli mobil dari gaji yang ia kumpulkan setiap bulannya. Maka, mobil yang didapatkan membuatnya merasa bahagia. Hal ini terjadi sampai pada titik bahwa memiliki mobil itu biasa saja. Ketika ia memiliki mobil, ia menyadari bahwa rumahnya tidak memiliki garasi untuk menyimpan mobilnya. Maka ia memiliki keinginan lanjutan untuk merenovasi atau membuat garasi baru di rumahnya untuk menyimpan mobil yang telah ia beli. Kegelisahan selanjutnya akan muncul, dan begitu seterusnya hingga keinginan-keinginan itu terus melanjutkan titah-nya.

Berbeda dengan tetangganya yang tidak memiliki hasrat akan mobil untuk kehidupannya. Membayangkan bahwa ia memiliki mobil saja tidak, apalagi keinginan untuk membelinya. Maka ia tidak punya kegelisahan akan keinginan memiliki mobil. Meskipun tentu, ia memiliki kegelisahan akan keinginan-keinginannya yang lain.

Sebenarnya, memiliki keinginan akan sesuatu itu wajar. Hanya saja, akan lebih baik diiringi kesadaran bahwa akan ada dua kondisi yang kemungkinan terjadi. Kondisi ketika keinginan itu terwujud dan kondisi ketika keinginan itu tidak terwujud. Maka setiap orang seharusnya mampu mengendalikan diri, kearah mana perasaannya akan dibawa ketika salah satu dari dua kondisi itu terjadi. Jadi, yang penting dari keinginan itu sendiri menurut saya adalah usaha-nya. Terkait hasil, jika terwujud yo biasa saja, jika tidak terwujud yo biasa saja. Tidak ada sesuatu yang patut dianggap ‘terlalu’.

 Subang, 15 April 2021     05:10

Posting Komentar

2 Komentar