Pelangi Pertama Bulan September


Hangatnya terasa begitu menarik hati untuk bisa ikut tersenyum. Tak sekedar tersenyum mulut, rindu badan pada jatuhnya hujan juga telah mereda hari ini. Lega rasanya hujan yang turun terasa kembali resapannya. Tanah yang kering dengan rumput yang cemberut menguning kecoklatan mungkin akan tergelak heran. Inginnya terwujud saat ini juga, secara tiba-tiba. Tak jadi mati, tak sampai kering lagi. Hujan serasa berkah bagi apa saja dan siapa saja, seolah tak ada lagi yang mengutuk hari. Kekesalan pada hujan pun hanya sekedar ekspresi kebohongan dari senyum yang disunggingkan.
Lihaaat… mereka mulai lari lagi. Nampaknya senang sekali berbasah-basah ria. Tak jauh pikir atas omelan orang tua nanti, sepertinya mereka asyik-asyik saja. Cipratan-cipratan air jalanan, rambut yang merunduk kuyup, alis penopang tetesan air, canda dan canda yang lama keronta mulai bersemi jua. Senangnya mereka, tak ambil pikir atas apa saja dan merasa senang tanpa neg-uneg yang panjang. Iri aku bersua pada suasana itu. Hanya saja, masa kanak-kanak sudah tiada dan wibawa lah penggantinya. Terbatas pada penglihatan, aku tetap masih bisa menikmatinya.
Coba tengok ke atas!! Apa yang kau pandang dari setiap sisi mata? Ya, itu yang lama tak aku lihat hingga hari ini. Itu juga yang secara ajaib muncul pada jumpa sinar dan air raya. Selalu ada penghubung yang mempertemukan, dan saat ini adanya di langit. Jembatan… warna—warni…berlapis-lapis…elok…. Waaah, PELANGI…!!! Indah nian aku jumpa dengannya. Muncul bersamaan dengan gerimis yang semakin mereda. Agaknya banyak lagi yang merasa senang melihat kekadang-kadangan ini. Menunggingkan senyum tak harus selalu mempertahankan wibawa. Takjub, senang, membuat hati berirama, segar sejuk meski sesaat saja. Dan inilah, pelangi pertama bulan September. Mengiringi bumi yang semakin bersemi. Magisnya membawa aura tiada tara. Yaa… dan yaa…, senyum saja.

Bogor,22 September 2015 05.30
-Mochammad Solichin-

Posting Komentar

0 Komentar