Yang pertama, dengan seorang ibu-ibu. Sepertinya dia keturunan Cina. Beliau berkata dengan bahasa Indonesia, tapi aku sangat hafal logat yang kudengarkan darinya. Maka, aku timpali saja dengan Bahasa Jawa krama. Dan ternyata benar dugaanku.
"Lho... Mas nya orang mana? tanya ibu itu.
"Kulo saking Jawa Tengah Bu, Wonosobo. Lha Ibu saking pundi?" (Saya dari Jawa Tengah Bu, Wonosobo. Lha Ibu dari mana?) jawabku sambil sekalian bertanya.
"Oo Jawa Tengah... Aku seko Semarang. Nek daerah kono ki wonge alus-alus yo?" (Oo Jawa Tengah... Saya dari Semarang. Kalau daerah sana itu orangnya halus-halus yaa?) Ibu itu kembali bertanya.
"Eh... Nggih Bu" (Eh... Iya Bu) jawabku sekenanya sambil senyam-senyum.
Beliau sempat menawariku untuk minum, aku lantas menolak dengan berucap terima kasih dan pamit.
Yang kedua, aku bertemu dengan seorang perempuan Cina, Annie namanya. Kuperkirakan, umurnya tak lebih dari dua puluh lima. Waktu aku datang, ia menghampiri dengan senyumnya, menyapa dengan semangat. Hal demikian adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami. Mengingat begitu banyak orang kami jumpai, dan tak semuanya mampu bersikap demikian ramah. Bahkan sebagian membuat suhu Jakarta yang panas semakin bertambah panas karena ketusnya. Tapi sudahlah, yang demikian tak perlu dikenangkan. Hal yang terlampau biasa bagi kami. Kembali ke Annie. Saat urusan formal ku dengannya selesai, ia kembali ke rumahnya. Aku pikir semua hal sudah selesai. Ketika aku hendak pergi, ternyata dia kembali dan memberikan sesuatu. Kami saling menimpalinya dengan ucapan dan mimik terima kasih. Dia kembali ke rumah dengan mengacungkan jempol, seperti hendak berkata: "Semangat, Pak..."
Dia mengatakan banyak hal dengan terbata-bata. Kau tahu mengapa? Dia sepertinya memiliki keterbatasan, dia tunarungu. Namun, dengan keterbatasannya, ia bahkan mampu memberikan lebih banyak dari orang-orang normal pada umumnya. Sebenarnya bukan tentang apa yang ia berikan. Akan tetapi, kerelaan seseorang dalam memberi lebih daripada yang seharusnya ia beri. Itulah kesan baik yang sering mengena bagiku, dimana-mana.
Yang ketiga, aku pergi ke sebuah tempat. Di sela gang-gang kecil yang ternyata dihuni oleh mayoritas orang Tionghoa. Dari yang kaya sampai yang sederhana pun ada. Mereka dimana-mana, di sudut-sudut gang dan jalan-jalan. Di sini mindset ku tentang orang tionghoa agak berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Mereka yang berada disini memang etnis Tionghoa, tapi gerak-geriknya sudah lagi tak berbeda dari orang Indonesia pada umumnya. Ada ibu-ibu yang duduk di depan rumah mengobrol apa saja, ada lelaki berkuncir yang memakai jaket ojek online, muda mudi yang nongkrong di saung mirip poskamling sambil mendengarkan musim dangdut juga ada. Kesemuanya yang saya temui, dan sebagian saya tanyai, menunjukkan sikap yang ramah. Bahkan ketika saya kesulitan memundurkan sepeda motor, salah seorang berinisiatif menawarkan diri untuk memberi bantuan. Hal demikian membuat senang rasanya.
Hari ini suasana berbeda saya rasakan dari mereka. Kesan baik saya dapatkan. Tentang kesan-kesan kurang menyenangkan dari orang Cina di masa lalu di lain tempat, pernah juga saya dapatkan. Tapi hal itu bukan jadi patokan, sebab keburukan tak mesti disimpan dalam-dalam di pikiran.
Bercerita tentang orang Cina, saya jadi ingat cerita Bapak tentang kawan lamanya yang juga seorang Cina. Bapak selalu semangat menceritakan kawannya itu. Dimana dulu ketika kecil kawannya itu berkekurangan secara ekonomi, dan sekarang telah sukses dengan bisnisnya. Pola pikir si kawan inilah yang seharusnya kita tiru, begitu Bapak bertutur.
Di akhir hari, aku mampir ke sebuah POM Bensin. Membeli minum di toko yang ada di sana. Ketika sudah di atas sepeda motor untuk lanjut pulang, ada seorang bapak menghampiri. Kami ngobrol dengan masih berada di atas kendaraan masing-masing. Aku dan dia tidak saling kenal sama sekali. Tapi karena aksesories kita sama barangkali, obrolan nyambung dan mengalir begitu saja. Dia katakan, masih hendak mengirim barang ke dua lokasi berbeda. Sekitar jarak 50km lagi sampai nanti dia kembali ke rumah.
"Sepertinya bakal malam banget sampai rumah. Saya baru sembuh ini. Kemarin meriang sama buang air terus. Tapi hari ini saya paksakan." Bapak itu bercerita.
"Lha besok gimana, Pak?" tanyaku.
"Besok kayaknya istirahat dulu deh. Besok kan Imlek juga." jawabnya.
"Semangaat, Pak. Diselesaikan nganternya, sampai rumah langsung istirahat."aku coba menyemangatinya sebisa-bisaku.
Aku dapati informasi, bahwa si Bapak ternyata orang Purworejo yang telah lama tinggal di Jakarta. Purworejo, tetangga kabupaten ternyata. Dan itu obrolan terakhirku sebelum sampai rumah. Dimana-mana banyak hal memberikanku kebaruan. Oleh karena itu, aku jadi terbiasa untuk sebisa mungkin menikmati perjalanan. Sangat dinamis, sampai aku bisa menemukan hal-hal menarik dan berbeda di setiap langkahnya. Pada kebaikan orang yang aku dapatkan, aku menyenanginya. Kalau aku menyenanginya, bukankah aku juga harus berupaya melakukan kebaikan serupa? Kan? Kan begitu?
Semoga aku tetap mawas diri.
Tangerang, 04 Februari 2019_21:17
0 Komentar