Ibadah, antara surga..neraka...dan Sang Pencipta

Saya sering mendengar tentang surga dan neraka. Tentang apa-apa saja yang mampu membuat kita berada di salah satunya, dan apa-apa saja yang membuat kita dihindarkan dari salah satunya. Pengertian akan keduanya kadangkala disampaikan dengan iming-iming yang indah maupun ancaman demi ancaman yang mengerikan. Lantas, kita semacam tertekan untuk bisa berada di salah satunya. Dari keseluruhan, orang-orang sepakat bahwa salah satu parameternya adalah "Ibadah".

Pada hal demikian lantas saya disuguhkan dengan bermacam karakter orang akan ibadahnya. Dosa dan neraka menjadi imbalan, yang seolah-olah mereka sendiri bisa menakar banyak sedikitnya. Dalam pada itu, tak sedikit yang lantas menjadi begitu egois dalam mengejar hal tersebut, dan kesadarannya pada hal baik lain semakin berkurang. Sebab ia tak ingin berdosa, ia acuhkan sesuatu yang sama berharganya, bahkan lebih. Sebab ingin pahala, ia kesampingkan lain hal yang justru lebih bermanfaat. Dari sini, sebenarnya tak ada yang salah tentang ajaran agama yang demikian. Sebab saya beragama Islam, saya katakan bahwa tak ada yang salah dengan ajaran Agama Islam. Tapi kita sendirilah yang patut mawas diri. Keterbatasan adalah kodrat manusia, salah satunya keterbatasan dalam berpikir dan merenungkan segalanya. Selalu ada celah untuk salah. Kehati-hatian sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Secara pribadi, saya sendiri kurang setuju dengan satu hal. Perihal ibadah yang lantas ditujukan pada keinginan-ketidakinginan akan surga maupun neraka, nikmat maupun siksa. Dari uraian tersebut, saya seperti mendapati bahwa perihal surga dan neraka seolah lebih penting daripada Sang Pencipta surga, neraka, dan segala isinya. Dari sini, saya seolah juga mendapati bahwa Tuhan hanya diposisikan sebagai pengabul keinginan demi keinginan. Lantas, manusia memperjelasnya dengan kata-kata bahwa Tuhan tidak akan mengingkari janji-janjinya. Ini seperti sebuah tuntutan bahwa Tuhan seperti memiliki keharusan memenuhi kebutuhan makhluk-makhluk yang telah berbuat sesuatu yang Tuhan sendiri kehendaki. Manusia demikian seolah-olah mengurung kuasa Tuhan atas apa yang difirmankan-Nya.
Hal itu juga saya rasai sebagai sebuah ketidaksopanan manusia terhadap penciptanya. Bagaimana mungkin, Sang Pencipta tunduk pada apa yang diciptakan-Nya? Sedang makhluk ciptaan-Nya adalah makhluk yang begitu jauh dari kesempurnaan. Yang sangat sering menafsirkan keadaan dengan salah, namun merasa tak salah sebab ia meyakini kebenarannya sendiri. Manusia, sudah sangat diwanti-wanti, bahwa "Kebenaran hanya milik Tuhan, sedang kesalahan adalah karena kebodohan manusia itu sendiri."
Tuhan punya kuasa atas segala sesuatu. Hak Tuhan untuk memberi pahala atau dosa, nikmat atau laknat, surga atau neraka. Manusia hanya perlu meng-hamba, menjalankan segala perintah dan menjauhi larangannya tanpa embel-embel apapun juga.
Syukur-syukur, segalanya dijalankan oleh manusia atas dasar rasa cinta kepada Tuhannya, sehingga tiada lain yang dapat menjadi kebahagiaan selain mendapat ke-ridho-an dari Nya.

Cinta itu tumbuh sebab satu hal yang saya yakini dalam segalanya:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang"

Tulisan ini tak mutlak kebenarannya, sebab saya adalah manusia, dan kesalahan adalah karena kebodohan saya sendiri.
اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ 

Bogor, 19 Januari 2018_23:06


Posting Komentar

0 Komentar