Sepenggal kisah dari Jogja:
Demen, Kulon Progo
Setiap kali lebaran, Bapak dan Ibu selalu mengajakku ke desa ini. Desa
ini juga yang menjadi tanah kelahiran Ibuku. Demen adalah desa yang adem ayem
tentrem dengan penduduk yang ramah dan masih banyak pepohonan kelapa diantara
rumah-rumahnya. Tak begitu banyak yang bisa diingat dari pikiran kanak-kanakku.
Saat itu aku masih bocah ingusan yang sering rewel merengek minta ini minta
itu. Yang jelas, aku masih ingat rumah dimanaMbah Kakung dan Mbah Putri tinggal.
Halamannya luas, seperti tempat menjemur padi di penggilingan. Aku juga ingat,
dulu kakakku sering “nyeser” ikan di kali kecil dekat rumah simbah. Setiap ke
rumah Mbah, kami menyempatkan diri untuk ziarah dan berdoa di makam kakak dekat
rumah Simbah. Seperti apa parasnya? Aku sendiri tak tahu. Dia adalah kakak
kedua dari lima bersaudara yang meninggal semasa kecil.
Lebaran selalu menjadi momen yang ditunggu untuk aku pergi ke tempat
ini kala itu.
“Aku rindu masa kecilku…”
2009,
(Okin dan Iwan)
Liburan semester semasa SMA kami jalani dengan hal baru... Hal baru
yang kami lakukan adalah pergi ke luar propinsi dengan uang seadanya.
Perjalanan itu kami lakukan dengan “ngeteng” beberapa bis sampai Kota Jogja.
Wonosobo-Purworejo-Jogjakarta. Berangkat pagi hari dan baru sampai di terminal
Giwangan, Jogja jam 9 malam lebih. Tak banyak yang kami tahu tentang Jogja
dengan segala seluk-beluknya. Rute, suasana malam, kondisi perjalanan… dan banyak
hal lagi yang benar-benar awam bagi kami kala itu. Malam hari, kami
berputar-putar di sekitaran Malioboro. Bermodal membaca peta di papan kaca pinggir
jalan. Lama berkeliling, lapar mulai terasa. Tengok warung sana-sini, lihat
menu dan harga yang wow di warung-warung lesehan sekitaran Malioboro.
Untunglah, saat kami sampai alun-alun, ada tenda angkringan dengan menu dan
harga yang sederhana. Aku ingat, waktu itu kami beli nasi angkringan yang
isinya cuma nasi dengan lauk sedikit tempe orek. Biarin, yang penting bisa ganjel
perut. Pikir kami waktu itu. Beberapa lama di alun-alun, kami mencari masjid
atau mushola. Pengennya biar bisa buat istirahat tidur menunggu pagi. Lama
mencari dan tak satupun masjid yang buka. Kami putuskan untuk terus berjalan.
Tak tahu arah, jalan saja. Beberapa orang kami tanyai, dan mereka menunjukkan
jalan menuju Pasar Gamping. Di jalan, Iwan nemu kertas yang rupanya peta Kota Jogja.
Kami ikuti peta itu sampai kaki mulai terasa pegal. Beberapa kilometer telah
dilalui dan Pasar Gamping belum terlihat juga. Dini hari, kantuk dan pegal di
kaki membuat kami memutuskan untuk rehat. Emperan toko di perempatan jalan kami
pilih untuk tidur sejenak menunggu pagi kala itu. Dingin dan sunyi… tanpa
selimut layaknya di rumah yang terbayang sangat nyaman. Subuh datang, kami
lanjutkan perjalanan. Beberapa waktu sampai Pasar Gamping yang ternyata tak
begitu jauh dari tempat kami tidur. Menunggu beberapa jam dan bis berangkat.
Aku dan Iwan turun di Demen, menuju tempat saudaraku.
Pagi itu, aku meminjam sepeda onthel tua dan kami pergi ke Pantai
Glagah. Situasi yang unik dan langka di sana. Dimana sepanjang Pantai Glagah
terdampar ubur-ubur warna biru dengan tubuh mengembang seperti gelembung. Tak berani
memegang, apalagi menginjak. Takut kesetrum atau gatal-gatal, seperti yang
diceritakan di TV-TV.
Kami pulang usai matahari terbenam sore menjelang malam saat itu.
“Aku rindu menggelandang di kota asing itu…”
2010,
(Okin, Alit, Putri, Surya, Qomah, Dedek, Wida, Afif, Nuzul, Akhyar, Eka)
Di antara tekanan demi tekanan yang kami dapat selama diklat MPCA, kami
masih bisa menikmati liburan singkat untuk menyegarkan kembali pikiran. Pergi
jauh bersama teman-teman senasib sepenanggung kala itu. Sejenak
bersenang-senang, untuk tertekan kembali setelahnya. Perjalanan ke Jogja,
menumpang nginep di Rumah Qomah. Ngonthel ke Malioboro dengan sepeda yang
bannya agak kempes. Liburan ke Parangtritis bareng-bareng naik bis.
2011,
(Okin & Iwan)
Berangkat dari Wonosobo dan Sampai di Demen malam hari. Langsung
berjalan sekitar 2 km menuju pantai. Nginep di bangunan seperti pos ronda di
tepi pantai ditemani suara angin yang kencang dan ombak yang terus menggemuruh. Pagi hari, menyusuri
pantai Glagah menuju ke timur entah sampai mana. Mungut jambu yang jatuh dari
pohon di pinggiran jalan aspal. “Nyengget” kelapa muda langsung dari pohonnya
ketika dahaga benar-benar menyiksa. Nyasar di suatu daerah yang entah namanya
apa. Usai lelah susur pantai, kembali ke daratan dan bertanya orang sana-sini.
Sampailah di jalan raya dan melambai-lambaikan tangan pada kendaraan yang
lewat. Untunglah, ada yang berbaik hati memberi tumpangan. Naik truk pasir
sampai di Srandakan. Hari sudah sore, tak ada angkutan. Berjalan usai maghib
kira-kira sejauh 5km, sampai kaki mulai lelah. Istirahat dan tidur di samping
warung pinggir jalan raya. Tidur dan bangun ketika subuh. Pagi hari mulai ada
bis, kami naik menuju Kota Jogja. Menuju UNY dan nginep di tempat kawan SMA
yang kuliah di situ. Esok harinya, Iwan balik ke Purworejo dan aku pergi ke
Stasiun Lempuyangan. Menunggu kereta Progo untuk kembali ke kampus tercinta di
Bogor. Sekarang, Iwan sudah tak lagi berpetualang karena sebab beberapa hal.
2012,
(Okin &Veski)
Perjalanan jauh dengan waktu yang begitu singkat. Berangkat dari Bogor menuju
Jogja usai Jum’atan dan sampai di Bogor kembali Senin pagi, karena jam 7 ada
kuliah. Perjalanan pergi dan pulang dipenuhi oleh halusinasi. Efek dari ngantuk
berat di atas motor Vega-ZR biru si Veski. Bahkan, dalam perjalanan pulang,
sempat hampir masuk gerbang tol karena Veski ngantuk. Hingga akhirnya kena
tilang 40ribu di Puncak, Bogor dalam perjalanan pulang. Di Pantai Baron, dikira
maling tower. Gara-garanya, ogah bayar retribusi naik tebing 2ribu, jadinya
nerobos tebing yang sebenarnya tidak pernah dilewati orang. Akhirnya sampai di
atas, di susul orang lewat jalan yang seharusnya dan turun lagi, diinterogasi
di warung bawah tebing. Untungnya orang di sana baik, kami dimaafkan. Di pintu
naik tebing, bertemu Bu Ngarsini. Peremuan berbadan kekar yang merupakan
nelayan wanita satu-satunya di Baron. Susur Pantai Malam hari, nyasar di atas
tebing. Akhirnya tidur di pinggiran tebing dan paginya lanjut sampai Pantai
Krakal. Minggu siang kami melaju menuju Bogor. Senin pagi sampai Bogor untuk kembali melanjutkan kuliah pukul 7 pagi.
2015,
Mengejar Sunrise di Bukit Sikunir, Dieng dan mengejar Sunset di Pantai
Glagah. Malam hari, nginep di mushola Terminal Giwangan. Menikmati pagi di Malioboro
dan keliling Keraton Ngayogyakarto. Liburan kali ini terasa kurang kunikmati,
karena lagi kurang enak badan dan agak pusing. Tak kuceritakan itu, kuatir
mengganggu liburan mereka. Mereka pulang ke Bogor malam harinya.
2015
(Okin & Nuridin)
Berawal dari Petungkriyono, Pekalongan menuju Demak. Setelah beberapa
hari di Demak, menuju Kota Jogja melewati Magelang. Ini pertama kalinya aku
mengunjungi Candi Borobudur di usia ke-23. Setelahnya, Jogja adalah kota ke 10
yang kami lewati. Mengejar sunset di Pantai Glagah. Lalu nginep di Demen dan paginya
kembali ke Wonosobo. Nginep di Wonosobo, lanjut lagi ke Petungkriyono.
2015
(Bulan Romadhon di Demen)
Bulan puasa kali ini aku jalani di Demen karena beberapa alasan. Di
sini, aku berkawan dengan orang-orang baru. Siang hari, sering kita habiskan
dengan bermain hadroh (mainnya ngasal, karena masih awam). Setiap menjelang
maghrib, anak-anak kecil di dalam masjid belajar apa saja. Anak mudanya
berkumpul di serambi menunggu takjil gratis yang digilir antar rumah dengan
jadwal yang sudah ditentukan. Sempat suatu kali, aku pulang ke Wonosobo.
Keesokannya, sepeda yang ada di Wonosobo aku tunggangi menuju Demen. Awalnya,
jalanan tak begitu sulit. Memasuki Purworejo, perjalanan semakin berat. Berat tantangan,
karena cuaca yang begitu terik siang itu. Sebelum puasanya batal, lebih baik
aku berhenti di suatu tempat. Berhentilah aku di sebuah mushola sebelum tugu perbatasan
Jawa Tengah dan Jogjakarta. Setengah jam sebelum maghrib, aku berhenti menunggu
adzan. Usai berbuka seadanya, kembali kulanjutkan perjalanan menuju Demen.
Berangkat pagi hari jam 8, dan sampai di sana jam 8 malam. Setidaknya, 12 jam
kuhabiskan waktuku di perjalanan hari itu. Di lain kesempatan, aku
melihat-lihat luasnya Waduk Sermo di suatu bukit di Kulon Progo. Di sana,
banyak hal kudapat diantara kenangan dan pelajaran.
2016
(Okin & Ossy)
Kami ke Jogja dengan alasan pekerjaan. Selingannya (lebih banyak) adalah
untuk liburan. Jalanan Malioboro ramai waktu itu. Para pelukis sedang melukis
apa saja imajinasinya di atas kanvas putih di trotoar Malioboro. Sementara itu,
jalanan sesak karena ada parade bertema “Nusantara Bersatu”. Parade mobil-mobil
TNI dan riuh suara musik bercampur obrolan orang-orang.
2016
(Okin & Ari)
Perjalanan kembali dilakukan dengan rute Pekalongan, Demak, dan
Jogjakarta. Kali ini dengan Ari. Kembali saya menikmati sunset yang begitu
menawan di Pantai Glagah. Kami pulang Wonosobo malam itu juga.
2017
(Okin, Cehkolil, Evi, Arinta, Husen, Mufri)
Yang pertama saya ingat dari perjalanan ini adalah “Jargon"-nya. Kegiatan yang
dieksekusi oleh anak-anak dengan latar jurusan yang berbeda, namun diakhiri
dengan jargon yang sama. Perjalanan ini sebenarnya pengganti perjalanan lain
yang tertunda karena situasi dan kondisi. Aku juga ingat berkah bertemu Bapak
tambal ban di dekat kampus UAD, Jogja. Dimana beliau seringkali menjadi relawan
atas dasar kemanusiaan. Ini menjadi perjalanan susur pantai yang panjang,
dengan tarik ulur pemikiran di beberapa kesempatan. Bagaimana tidak? Dalam dua hari
semalam, kami berjalan kaki naik turun tebing, lewati sawah, dan juga menyusuri
setidaknya 9 pantai. Diawali dari Pantai Baron dan berakhir di Pantai Ngrumput
(karena keterbatasan waktu). Malam itu, kami tidur di serambi sebuah penginapan
dekat pantai karena kami tersesat di suatu sawah. Aku masih ingat bagaimana
hujan lebat yang mengguyur ketika kami terjaga malam itu. Aku masih ingat
bagaimana mendung menyambut pagi kami di Pantai tanpa nama. Aku masih ingat
betapa kecilnya aku yang berdiri di atas tebing sembari memandang luasnya
samudra. Aku masih ingat dua gelas susu coklat hangat yang diberikan pada kami
usai kami menyapa mereka, anak-anak dari perguruan tinggi di Surakarta. Aku
masih ingat belalang goreng yang tak jadi kami beli karena mahal rasa-rasanya.
Aku masih ingat bau khas toko Mirota dengan peta Jogjanya. Terakhir, aku masih
ingat dengan soto 6000 dan segelas Cappucino yang dijual bapak tua dan seorang
Ibu di sebelahnya.
Masih banyak yang ku ingat dan aku begitu merindukannya.
Jogja memang telah banyak berubah. Orang bilang, sudah tak lagi seperti
dulu. Namun setidaknya, aku pernah merasakan betapa Jogja menjadi seperti rumah.
Pergi kesana, aku seolah seperti pulang. Semoga Jogja tetap bertahan dengan ketidakadilan
jaman.
Bagiku dan dalam kenangan masa laluku, “Jogja masih Istimewa”.
Rindunya kemana-mana…
“Terima kasih untuk semua dan atas semuanya”
- Wonosobo, 8 Juni 2017 -



















0 Komentar